Pages

27.1.13

Batu yang Digeser atau Diloncati?



Akhirnya, dengan segala kedewasaanku yang masih pas-pasan, aku mau nge-pos sesuatu yang aku anggap agak penting (mengingat semua post di blog ini nggak penting!). Berdasarkan judul diatas, aku mau bahas tentaaaaangggg: BATU YANG DIGESER ATAU DI LONCATI!


Emang judulnya agak nggak jelas ya. Pertama-tama aku mau curhat dulu nih. Setelah UNAS dan mendapatkan hasilnya (syukur kepada Tuhan aku dapet 38,35), banyak temen-temenku yang protes di Twitter. Contoh tweetnya: “Kok nggak adil gini sih?”

Apanya yang nggak adil?! Pas baca itu aku heran, kaget, spechless, dan mikir, mana nggak adil, mana nggak adil (tuh kan mulai ngelantur!). Dan setelah baca tweet-tweet selanjutnya, aku mulai tahu, dimana letak ketidakadilannya.

Yang bikin tweet tadi adalah anak pinter, sekelas sama aku. Dia dapet danem sekitar 37,berapagitu. Alasan dia bikin tweet macam itu karena dia kaget banyak anak dengan kemampuan dibawahnya dapet danem yang jauh lebih tinggi dari dia. Dimana letak ketidakadilannya? Semua orang juga tahu taktik apa yang dipakai manusia-manusia berpredikat pelajar untuk mendapatkan danem yang segitu gedenya. Nggak ada yang bisa memungkiri kadang kita pengen, tapi ingat! Kita masih punya Tuhan yang membantu kita.

Sungguh ironis! Protes-protes bertema ketidakadilan itu sangat banyak dan menyentuh kupingku. Aku sendiri nggak merasakan ketidakadilan. Bukannya nggak tahu, melainkan aku menolak tahu. Pas ngelihat banyak temen-temenku yang danemnya lebih bagus dari aku, sama sekali nggak ada perasaan tersaingi yang aku rasakan! Sumpah! Kenapa aku bisa begitu santai melihat banyak temen-temenku yang danemnya lebih gede dari danemku? Karena aku tidak melihat nilaiku berdasarkan nilai orang lain. Aku melihat nilaiku berdasarkan TARGETKU SENDIRI. Aku lebih puas, lebih senang, dan bisa lebih bersyukur. Gitu aja! Simpel, kan?

Ada yang tahu kenapa aku bisa melihat nilaiku dari sudut pandang yang berbeda? Begini sejarahnya!

Selesai UNAS hari pertama, aku cerita ke papaku yang paling ganteng sejagat. “Pa, kalau nilaiku jelek gimana?”

“Pesimis?” gumam papaku.

“Bukan pesimis. Tapi yang lain pada jago-jago.”

“Jago apanya?”

“Itunya.... (censored, ya. Kalian pasti tahu.)” kataku pelan.

Lalu papaku mengambil bolpoin dan membuat garis yang panjang. “Anggap garis ini adalah jalan jauh,” katanya. “Kamu lari kenceng banget dari ujung sini sampai ujung satunya. Lalu tiba-tiba ada batu gede banget di depanmu. Otomatis, kamu harus berhenti dulu dan menggeser batunya pelan-pelan.”

“Aku loncat aja, Pa.”

“Orang kok minta praktisnya aja,” balas papaku. “Dengan menggeser batunya pelan-pelan, jalanmu bakal lebih luas, ototmu makin terasah dan makin kuat, sehingga kalau nanti ada batu lagi, kamu bisa melewatinya dengan gampang. Bayangkan kalau kamu loncat. Loncat itu butuh keberanian dan perhitungan yang tepat supaya nggak jatuh. Tapi kalau mereka sekedar handal dan tidak terlatih, pada saat ada batu lain, mereka bakal jatuh karena mereka lompat.”

Aku terpaku.

“Kamu ngerti?”

Aku mengangguk ragu-ragu.

“Artinya, kalau kamu mau sukses dijalan panjang tadi, kamu harus banyak berlatih. Latihannya ya dengan mendorong batu itu. Kamu mungkin bisa loncat dengan mudah dan melewati batu itu dengan cepat tanpa perlu memakan banyak tenaga. Tapi pada saat kamu menemukan batu yang lebih besar dan lebih tinggi, kamu mau lompat juga? Bisa-bisa kamu patah tulang saking tingginya tuh batu. Harus digeser, pelan-pelan. Butuh usaha, kan? tapi kamu nggak bakal jatuh atau patah tulang. Jalan kan nggak ada ujungnya, itu tandanya kehidupanmu masih panjang.”

Aku mengangguk-angguk lagi. Mudah-mudahan papaku ngira aku ngerti.

“UNAS kali ini bukan finalnya, tapi salah satu jalan kamu mendapatkan finalnya,” lanjut papaku.

Teman-teman, aku sebagai anaknya papaku nggak tahu kalau papaku sangat filosofis kayak gitu. Bawaannya papaku kan ceria banget, jadi pas ngomong serius gitu aku bertanya-tanya: nih orang bener papaku? Hush, kurang ajar Meel ini.

Lanjut aja, aku nggak perlu menjelaskan lagi pendapat papaku tadi. Kalian pasti bisa ngerti sendiri. Jadi, kalau nemu batu, kalian mau nggeser atau loncat? Terserah kalian.

Ada satu quote yang aku bikin pas aku lagi meratapi kebodohanku. Ini dia:
What we do builds what we get. Bagi yang nggak tahu artinya... cari di Google Translate.

Sekian dari Meel,
Salam pelajar Indonesia (muach!)