Pages

29.1.13

What I Call With Something Boring

Oke, aku lagi belajar buat ujian Biologi besok.

Bahannya tentang biodiversity. Sebenernya gampang, tapi nggak tahu kenapa bisa jadi susah amat pas ketemu soal.

Kebetulan aku lagi pengen ngepost, jadi ya udah aku bikin post walaupun geje setengah mati..

You guys, kalau nggak ujian besok adalah probadi yang beruntung..

Udah malem. Nggak tahu mau nulis apa lagi.

27.1.13

How to be The-Real-Popular-Person



Hola, All...

*post ini bukan bersifat mengguri, mamen*
Pada postingan sebelum ini, aku sempat membahas tentang pengaruh teman terhadap kehidupan kita. You guys, sudah pada tahu temen yang seperti apa yang bisa membangun kita jadi pribadi yang lebih baik. Nah, postingan ini cuma penambah aja, sekedar untuk pengetahuan bagi kalian yang: punya teman yang membawa pengaruh buruk dan pengen punya temen yang membawa pengaruh positif, tapi nggak tahu cara dan terlalu nggak pede.


Menjalin pertemanan bisa sangat menakutkan. Yeah, I know it...
Pada masa-masa SD-ku, untuk menjalin pertemanan baru itu susah banget. Selalu ada pikiran seperti, “Apa mereka suka sama aku? Apa mereka mau menerimaku? Apa aku nggak terlalu aneh?” dan banyak hal demikian yang rasanya membebani. Alhasil, pada akhirnya aku hanya diem, nggak berani ngajak ngomong, bahkan aku nggak senyum karena takut mereka nggak balas tersenyum.
But the fact, this world is like a mirror. Apa yang kita lakukan bakal terpantul sendiri ke kita, seperti saat kita bercermin.
Kalau kita senyum, 90% orang lain bakal membalas senyum kita. 10% yang nggak membalas senyum itu adalah orang yang bermasalah. That’s the point of this post. Mirror.
Intinya, memulai pertemanan itu nggak sulit. Let me tell you how.
Pegang prinsip yang sama, tentang cermin. Bersikap ramah, murah senyum dan peduli pada orang lain bakal membawa pengaruh besar bagi orang-orang di sekitar kita. Here, kalau kalian takut sama orang lain (apalagi ketakutan-ketakutan kecil kayak yang diatas), semua orang malah ikutan takut ke kalian. Seriusan deh...
Coba buat list sifat-sifat yang kalian nggak suka, lalu buat list tentang sifat-sifat yang sebaliknya, yang kalian suka. Nah, kalau kalian sendiri sudah tahu sifat-sifat seperti apa yang kalian nggak suka, kalian secara otomatis akan membuat diri kalian sendiri nggak bersifat kayak gitu.
I give you something to read. Achtung (Jerman, perhatikan!)
Pertama, senyum!!
Semudah kalian membacanya. Seulas senyum membuat kalian ribuan kali lebih ramah, cantik, ganteng, dan pede. Yakin deh semua orang bakal suka sama kalian.
Kedua, Belajar untuk mendengarkan.
The truth is, orang yang populer bukan orang yang pinter ngomong. Memang sih rata-rata siswa populer di sekolah adalah si pemenang lomba debat, pidato, aktif di kelas (suka tanya ke guru), dan supel. Yang semua orang nggak tahu adalah, anak populer itu anak yang bisa menjadi pendengar yang baik. Gimana jadi pendengar yang baik? This is my job for years. Tanyakan pertanyaan yang tepat (sesuai dengan kondisi dan lawan bicara), jaga kontak mata dengan lawan bicara (jangan sampai kita kelihatan nyuekin mereka), dan yang paling penting, respon dengan anggukan dan kata-kata (jangan hanya diem kayak patung).
Ketiga, cari kesamaan!
Sesuai pengalaman sendiri, nih. Aku lebih deket sama temen ekskul yang rata-rata punya hobi yang sama daripada sama temen sekelas (walaupun sama temen sekelas aku ketemu tiap hari, loh). Selain itu, aku lebih deket sama orang yang punya cita-cita sama, style sama, dan hal-hal sama lainnya. Selain lebih deket, kita lebih nyaman satu sama lain dan saling ngerti. Coba deh cari temen yang punya banyak kesamaan dengan kita.
Keempat, menghargai pikiran dan perasaan orang lain.
Orang populer selalu menghargai pikiran dan perasaan orang lain. Kalau ada yang bilang Justin Bieber itu jelek (nih pasti orang buta nih *peace, gue belum populer*), ada baiknya kita hargai pendapat mereka dengan mendengarkan saja (ingat, orang populer itu pendengar yang baik). Kamu nggak bakal menang dengan bertengkar. Meskipun apa yang kamu perdebatkan itu hal yang benar, kamu hanya kehilangan respek dari temanmu.
The last, guys, Beri pujian yang tulus.
Kita semua haus pujian. Kita juga. Kalau ada sesuatu yang bagus, beri pujian yang tulus dan jangan dibuat-buat. Kalau sesuatu itu jelek, diem aja deh mendingan.
And then, find your best best friend. Kalau teman sejati ini, aku rasa hanya kalian yang bisa menentukan ekspektasi kalian sendiri. Find your own, ya...

Regards,
Mel 

Your Friends and Your Life


Lumayan jarang aku nulis sesuatu tentang pertemanan. Baru-baru ini aja, ketika aku udah masuk dunia SMA yang absurd bukan main, aku sadar gunanya temen itu buanyak banget (ditambah dengan ilmu sosiologi yang baru setengah tahun di dapat).

Here we are. I told you the fact!

We need friends, right? Aku butuh teman. Bagiku temen itu penting banget. Sadar nggak sadar, temen punya peran besar dalam hidupku. Temen sebangku itu temen sehati, kata Wakasek Kurikulum di sekolah. Iya. Temen sebangkuku selama ini, sepanjang eksistensiku di sekolah, adalah temen sehati yang solid abis. Kemana-mana bareng, ngapa-ngapain bareng. Pokoknya nggak terhitung berapa banyak hal yang kita lakukan bareng-bareng.


Kesimpulannya, kita butuh temen yang andilnya besar banget dalam hidup kita.

Sebelum postingan ini, aku pernah mosting tentang buku yang keren banget, judulnya Secrets of Succesful Teens. Ada salah satu bab yang menjelaskan pentingnya temen dan apa hubungannya dengan kehidupan kita. Dulu, jauh sebelum baca buku ini, aku sudah pernah dengar masalah-masalah yang mungkin aja timbul karena teman kita. Ternyata, ada buku yang membahas tentang ini.

Apa sih pengaruhnya teman buat kita? Well, kalau menurutku pribadi, teman itu mempengaruhi kita karena kita sendiri. Loh? Iya. Apa yang dilakukan teman cenderung kita lakukan juga. Kenapa? Karena biasanya kita ingin terlihat normal di sebuah kelompok tertentu. Kita melakukan hal-hal yang ‘normal’ dilakukan kelompok yang kita ikuti. Kalau kita nggak melakukannya, kita akan terlihat aneh dan ditolak, satu-satunya hal yang sebenarnya kita hindari.

Ada satu kenyataan yang lucu sekali. Mamaku pernah beli kepiting, dua kali di waktu yang berbeda. Yang pertama mama cuma beli satu kepiting buat percobaan adikku di sekolah. Waktu kepiting itu ditaruh di ember, dia berhasil keluar sebelum mamaku ngikat dia pakai tali. Kedua mama beli kepiting banyak dan ditaruh di ember semua. Fakta yang berbeda, nggak ada satu pun kepiting yang keluar dari ember. Tiap kali ada yang merangkak keluar, kepiting lain akan menarik kepiting yang merangkak keluar, jadi nggak ada yang bisa bebas.

Dari cerita di atas, ada nggak yang bisa nangkep maksudnya? Satu kepiting bisa bebas dan sukses, tapi temen-temennya malah menarik dia kembali ke ember dan menjauhkannya dari kebebasan. Seperti itulah kita dan teman-teman kita.

Pengaruh teman seperti ini, yang berbau dan negatif dan membuat kita jauh dari kebebasan dan aura positif kita sebut sebagai tekanan teman sebaya. Pernah nggak mengalami yang seperti ini? Aku pernah. Dari sekian banyak hal-hal yang nggak ingin aku lakukan, ada beberapa bagian yang justru datang dari teman sepermainan dan aku melakukannya! Misalnya nyontek, nggak ngerjain PR, nggak belajar, atau hal-hal lumrah lainnya yang sering kita lakukan dan kita tahu itu nggak benar.

Here’s the Ben’s story.

Ben itu anak yang pintar, pandai, ganteng, dan friendly sekali. Sayangnya, Ben berteman dengan geng motor, anak-anak yang hobi merokok dan melakukan hal-hal buruk lainnya. Kebayang kan jadinya gimana. Lama-lama Ben ikut ngerokok, nyontek, nggak belajar, pulang malam, dan hal-hal lain yang wajar aja dilakukan di kelompoknya.

Suatu malam, Ben ikutan nyuri di sebuah rumah karena teman-temannya melakukan hal yang sama. Atas dasar setia kawan dan solidaritas, Ben ikut masuk dan mengambil barang-barang berharga. Padahal, Ben itu tajir!! Walaupun dia tajir, anak baik-baik (awalnya), dan pandai, Ben dijatuhi hukuman 5 tahun penjara pada akhirnya.

So, guys. That’s the truth. Pengaruh teman itu luar biasa, bahkan bisa lebih dari pengaruh keluarga sendiri. Sounds crazy, but that’s all!!

Kalau kita memang punya teman yang memberi pengaruh negatif, meninggalkan mereka bukan pilihan yang bagus dan gampang, apalagi kalau pada dasarnya kita udah klop banget sama temen kita itu. Memang salah kalau kita tetap berteman dengan mereka, tapi akan sulit kalau kita pergi ninggalin mereka. Untuk merubah pengaruh mereka, yang kita perlu lakukan adalah merubah diri kita dulu.

Memang jauh lebih susah. Kita akan dianggap aneh, idiot, dan ditolak. Tapi percaya deh. Kalau kita niat berubah, mereka nggak akan melihat itu sebagai hal yang nggak wajar. Justru, perlahan-lahan, mereka akan ikut berubah seperti kita. Jadilah elang dan bukan domba. Kalau kita berubah diri kita, dunia luar kita (lingkungan dan teman) akan ikut berubah, itu kuncinya.

Hal lain, jangan takut bilang tidak. Aku sudah pernah merasakan nggak enaknya melakukan hal-hal yang aku sendiri nggak mau melakukannya. Mendengarkan kata hati itu penting, loh...

Nah, guys, sekarang aku sudah bisa memilih teman yang baik. Temen sebangkuku kali ini, teman sehati dan paling absurd adalah cewek tomboi, pinter, dan rajin setengah mati. Kerjaannya belajar terus kalau ada waktu luang. Tapi anaknya juga asik buat diajak hangout dan curhat habis-habisan. Keren dah pokoknya. Mungkin bakal aku tampilin profilnya kali ya (kalau anaknya tahu aku bisa di cabik-cabik).

Oh, ya. Satu lagi, guys. Walaupun temen kita udah positif (kayak temenku tadi), kita tetep aja nggak bakal berubah kalau kita sendiri nggak mau berubah. Semester lalu aku salut banget sama temenku. Dia rajin belajar dan nilainya bagus-bagus. Tapi aku nggak berubah dan nggak mendorong diriku sendiri walaupun dia sering banget ngasih wejangan-wejangan yang memotivasi. Sekarang, tiap kali dia memotivasi, aku selalu mendengarkan dengan baik dan mendorong diriku sendiri untuk ikut termotivasi dan meniru hal-hal positif dari dia.

Nah, secuil pengalamanku itu sudah aku share ke kalian semua. Hope you get it, guys. Last question! Gimana teman kalian???

Regards,
Mel

Secrets of Successful Teens


Yes, sekitar tiga bulan yang lalu aku beli buku yang bagus banget, tapi baru dibaca seminggu ini dan belum selesai. Highly recomended banget buat para remaja yang pengen sukses di sekolah dan kehidupan luar sekolah!


Judulnya Secrets of Successful Teens oleh Adam Khoo dan Gary Lee. Kalau ada yang tahu buku ‘I Am Gifted, So Are You’, buku ini berasal dari pengarang yang sama. Isinya lengkap! Mulai dari uraian lengkap dan asik tentang kekuatan terpendam yang kita miliki, kekuatan keyakinan diri dan visualisasi, self-esteem, sekolah, cara menguasai pikiran untuk sukses, manfaat berpikir besar, pertemanan, hubungan dengan orang tua, dan cara-cara berprestasi di sekolah yang dikemas secara unik dan seru.

Buku ini memotivasi sekali. Bahasanya gampang dicerna dan mengena buat para remaja. Ada contoh-contoh nyata yang bikin kita mangap karena kaget dan nggak percaya, tapi langsung bikin kita senyum dan percaya diri. Asik banget deh pokoknya. Ada latihan-latihan pembuktiannya juga, yang bikin kita mikir dua kali untuk membalik ke halaman selanjutnya.

Then, yang paling penting, guys, buku ini punya sederet informasi dan jawaban atas segala macam pertanyaan absurd kita.

Sedikit informasi, di dalem buku ini ada keterangan tentang program ‘I Am Gifted’-nya Adam Khoo. Itu semacam perkemahan yang memisahkan anak dari ‘kenyamanan’ hidup supaya bisa menghadapi perubahan dan berpikir kreatif dan kritis. Kayaknya asik, aku pengen ikutan. Waktu googling, perkemahan macam ini adanya di Singapura dan aku nggak tahu biayanya berapa. Kalau sudah tahu bakal aku share di sini.

Kalau kita ke toko buku, Gramedia, misalnya, ada bagusnya kita ke bagian Pengembangan Diri dan nyari buku ini. Suer, deh. Nggak nyesel beli buku ini. Waktu aku beli, aku cuma bawa seratus ribu aja buat beli novel baru. Tapi pas ngelihat isi buku ini, aku rela nggak beli novel dan menghabiskan tiga perempat uangku untuk buku Adam Khoo ini. Harganya sekitar tujuh puluh ribu (kalau nggak salah 72.000). Memang agak mahal untuk kantong pelajar, apalagi duit segitu buat beli buku. Tapi sekali aja, guys, beli buku ini dan rasakan api yang membara di perut kalian pada tiap halamannya.

Happy hunting and reading, friends.

Regards,
Mel

Batu yang Digeser atau Diloncati?



Akhirnya, dengan segala kedewasaanku yang masih pas-pasan, aku mau nge-pos sesuatu yang aku anggap agak penting (mengingat semua post di blog ini nggak penting!). Berdasarkan judul diatas, aku mau bahas tentaaaaangggg: BATU YANG DIGESER ATAU DI LONCATI!


Emang judulnya agak nggak jelas ya. Pertama-tama aku mau curhat dulu nih. Setelah UNAS dan mendapatkan hasilnya (syukur kepada Tuhan aku dapet 38,35), banyak temen-temenku yang protes di Twitter. Contoh tweetnya: “Kok nggak adil gini sih?”

Apanya yang nggak adil?! Pas baca itu aku heran, kaget, spechless, dan mikir, mana nggak adil, mana nggak adil (tuh kan mulai ngelantur!). Dan setelah baca tweet-tweet selanjutnya, aku mulai tahu, dimana letak ketidakadilannya.

Yang bikin tweet tadi adalah anak pinter, sekelas sama aku. Dia dapet danem sekitar 37,berapagitu. Alasan dia bikin tweet macam itu karena dia kaget banyak anak dengan kemampuan dibawahnya dapet danem yang jauh lebih tinggi dari dia. Dimana letak ketidakadilannya? Semua orang juga tahu taktik apa yang dipakai manusia-manusia berpredikat pelajar untuk mendapatkan danem yang segitu gedenya. Nggak ada yang bisa memungkiri kadang kita pengen, tapi ingat! Kita masih punya Tuhan yang membantu kita.

Sungguh ironis! Protes-protes bertema ketidakadilan itu sangat banyak dan menyentuh kupingku. Aku sendiri nggak merasakan ketidakadilan. Bukannya nggak tahu, melainkan aku menolak tahu. Pas ngelihat banyak temen-temenku yang danemnya lebih bagus dari aku, sama sekali nggak ada perasaan tersaingi yang aku rasakan! Sumpah! Kenapa aku bisa begitu santai melihat banyak temen-temenku yang danemnya lebih gede dari danemku? Karena aku tidak melihat nilaiku berdasarkan nilai orang lain. Aku melihat nilaiku berdasarkan TARGETKU SENDIRI. Aku lebih puas, lebih senang, dan bisa lebih bersyukur. Gitu aja! Simpel, kan?

Ada yang tahu kenapa aku bisa melihat nilaiku dari sudut pandang yang berbeda? Begini sejarahnya!

Selesai UNAS hari pertama, aku cerita ke papaku yang paling ganteng sejagat. “Pa, kalau nilaiku jelek gimana?”

“Pesimis?” gumam papaku.

“Bukan pesimis. Tapi yang lain pada jago-jago.”

“Jago apanya?”

“Itunya.... (censored, ya. Kalian pasti tahu.)” kataku pelan.

Lalu papaku mengambil bolpoin dan membuat garis yang panjang. “Anggap garis ini adalah jalan jauh,” katanya. “Kamu lari kenceng banget dari ujung sini sampai ujung satunya. Lalu tiba-tiba ada batu gede banget di depanmu. Otomatis, kamu harus berhenti dulu dan menggeser batunya pelan-pelan.”

“Aku loncat aja, Pa.”

“Orang kok minta praktisnya aja,” balas papaku. “Dengan menggeser batunya pelan-pelan, jalanmu bakal lebih luas, ototmu makin terasah dan makin kuat, sehingga kalau nanti ada batu lagi, kamu bisa melewatinya dengan gampang. Bayangkan kalau kamu loncat. Loncat itu butuh keberanian dan perhitungan yang tepat supaya nggak jatuh. Tapi kalau mereka sekedar handal dan tidak terlatih, pada saat ada batu lain, mereka bakal jatuh karena mereka lompat.”

Aku terpaku.

“Kamu ngerti?”

Aku mengangguk ragu-ragu.

“Artinya, kalau kamu mau sukses dijalan panjang tadi, kamu harus banyak berlatih. Latihannya ya dengan mendorong batu itu. Kamu mungkin bisa loncat dengan mudah dan melewati batu itu dengan cepat tanpa perlu memakan banyak tenaga. Tapi pada saat kamu menemukan batu yang lebih besar dan lebih tinggi, kamu mau lompat juga? Bisa-bisa kamu patah tulang saking tingginya tuh batu. Harus digeser, pelan-pelan. Butuh usaha, kan? tapi kamu nggak bakal jatuh atau patah tulang. Jalan kan nggak ada ujungnya, itu tandanya kehidupanmu masih panjang.”

Aku mengangguk-angguk lagi. Mudah-mudahan papaku ngira aku ngerti.

“UNAS kali ini bukan finalnya, tapi salah satu jalan kamu mendapatkan finalnya,” lanjut papaku.

Teman-teman, aku sebagai anaknya papaku nggak tahu kalau papaku sangat filosofis kayak gitu. Bawaannya papaku kan ceria banget, jadi pas ngomong serius gitu aku bertanya-tanya: nih orang bener papaku? Hush, kurang ajar Meel ini.

Lanjut aja, aku nggak perlu menjelaskan lagi pendapat papaku tadi. Kalian pasti bisa ngerti sendiri. Jadi, kalau nemu batu, kalian mau nggeser atau loncat? Terserah kalian.

Ada satu quote yang aku bikin pas aku lagi meratapi kebodohanku. Ini dia:
What we do builds what we get. Bagi yang nggak tahu artinya... cari di Google Translate.

Sekian dari Meel,
Salam pelajar Indonesia (muach!)

Ketika Sahabat Jadi Lebih dari Sekedar Sahabat


Topik ini punya perjalanan yang agak unik. Awalnya aku inget-inget, kenapa aku suka sama orang yang aku taksir sekarang. Dan setelah inget, ternyata alasannya simpel: aku suka dia karena kami udah temenan lama dan selalu punya waktu khusus buat ngobrol.

Udah temenan lama! Sahabatan jadi cinta. Klise nggak? Bagiku iya.


Banyak kasus, dimana dua remaja, cowok dan cewek, sahabatan lalu pacaran. Atau minimal saling suka, atau yang lebih minimal, salah satu diantara mereka suka. Itu klise, dan normal! Tapi yang aku tanyakan di sini adalah, kenapa?! Kenapa bisa saling suka macam itu?

Berdasarkan pengalamanku sendiri, aku suka sama sahabatku itu adalah karena kami temenan udah lama banget. Kami juga nyambung ngobrol, dan dia itu orang yang luar biasa. Omongannya nggak ketebak, dia juga pribadi yang dari luar kelihatan cuek, bikin gemes, dan pendiam. Tapi kalau udah kenal dekat, dia itu cerewet, suka bercanda, dan punya selera humor yang bagus. Lama-lama kalau di deket dia itu aku jadi sering ketawa, aku jadi punya banyak pengetahuan yang bagus-bagus, dan itu aku dapet dari dia. Pokoknya bagiku dia luar biasa. Ajaibnya, Tuhan memberikan aku satu waktu khusus sama dia. Dan nggak bakal ada siapa-siapa selain kami berdua. Di sekolah, aku dan dia kayak temenan biasa. Bahkan nggak kelihatan kayak temen deket. Tapi pas diluar sekolah, dia jadi baik banget. Dia mau nemenin aku jalan-jalan, nemenin aku beli novel, nemenin beli makan. Dan hal-hal lainnya.

Jadi, berdasarkan pengalamanku sendiri, sahabat yang jadi pacar itu wajar. Secara mereka sahabatan, pasti mereka saling mengenal dengan sangat baik. Kalau sahabat pasti nyambung diajak ngomong, udah gitu pasti saling perhatian. Jadi klise aja kalau sahabat jadi pacar.

Nggak enaknya adalah kesulitan mengungkapkan. Kalau aku sendiri, aku nggak berani mengungkapkan perasaanku selagi aku nggak tahu perasaan sahabatku. Daripada ditolak (tapi sebenernya bukan ini poinnya) aku lebih milih memendam perasaan ini sendirian. Kalau dia tahu, tapi dia nggak suka sama aku, otomatis hubungan sahabat itu bakal berubah. Pasti ada kecanggungan, dan itu nggak bakal sama lagi kayak dulu. Kalau dulu sering bercanda, sekarang pasti sama-sama ingin menghindar. Antara malu, perasaan nggak enak, dan lain-lain.

Jadi intinya gimana kalau kita suka sama sahabat kita? Sebagai cewek, aku hanya ngasih sinyal-sinyal. Itu pun nggak terlalu kentara. Biasanya, aku hanya minta dia nemenin, aku juga menanggapi obrolan dia, dan hal-hal kecil lainnya. Aku tahu kemungkinan dia nangkep sinyal itu kecil banget, tapi itu nggak masalah. Aku suka ngasih perhatianku ke dia, dan aku bahagia dia menanggapi perhatianku, malah kadang membalas perhatian yang aku kasih ke dia, walaupun dengan cara yang bikin aku agak sebel.

Tapi aku bahagia, dengan cara yang sederhana. Pada dasarnya, alasanku mencintai dia bukan untuk pacaran (walaupun tiap malem juga aku berdoa kayak gitu), tapi karena aku cinta. Itu saja. Aku cinta dia dengan caraku sendiri, tidak berlebihan, walaupun satu-satunya cinta yang aku punya adalah sepenuhnya miliknya. Apakah kita harus marah karena dia tidak mencintai kita? Aku rasa nggak. Aku punya keyakinan sendiri bahwa cintaku ke dia itu besar, dan jika Tuhan tidak menginginkanku dengannya, pasti Tuhan akan memberikan yang lebih baik darinya. Tapi sebelum itu, aku tulus ke dia.

Teens, aku nggak pernah tahu kenapa temen-temenku hobi gonta-ganti pacar. Aku nggak yakin mereka cinta. Karena pada dasarnya, cinta itu bakal terpatri kuat di hati. Dan tidak mudah melupakan cinta yang dulu. Aku perlu waktu dua tahun buat ngelupain cinta pertamaku, dan menggantinya dengan sahabatku yang sekarang. Satu saja keyakinanku, kalaupun nanti cintaku nggak terbalas, aku ikhlas, luar biasa ikhlas. Karena, kita nggak bisa mencintai kalau kita takut sakit dan tertolak. Satu lagi alasanku nggak mengungkapkan perasaanku ke dia, karena aku lebih memilih persahabatanku dengannya. Aku juga lebih suka melihat dia memandangku sebagai sahabat. Aku lebih nggak kuat kalau melihat dia tahu aku sayang dia, tapi dia perlahan menjauh.

Selagi hubungan sahabat bisa mendekatkanku dengannya, aku lebih rela tidak menjadi pacarnya. Itu saja.

Yah, segitu dulu deh malem ini.

Regards, Mel

Dilema Seorang Penggemar Rahasia


It's love again. Jangan bosen, tapi cinta selalu menarik untuk dibahas.


Penggemar rahasia, bagi aku, identik dengan mencintai secara sembunyi-sembunyi. Dia, sang penggemar rahasia, akan mencintai orang yang ia cintai secara diam-diam, tanpa diketahui siapapun. Mungkin ada beberapa yang pedekate dan akhirnya menyatakan cintanya. Atau secara frontal mengungkapkan cintanya tanpa melalui pedekate. It’s okay. Kalaupun jadinya pacaran atau nggak, nah itu urusan belakangan.

Seperti agen rahasia, penggemar rahasia juga suka memata-matai orang yang ia cintai. Biasanya, ia akan banyak mengetahui hal-hal kecil dari orang yang dicintainya. Apa kesukaannya, siapa yang menjemput sekolah, siapa aja mantannya, kelakuannya di rumah kayak apa, punya penyakit apaan, tidur jam berapa, sampai jadwal boker mungkin aja dia tahu. Selain memata-matai, penggemar rahasia biasanya dekat dengan sahabat orang yang ia cintai. Jadi dia bisa mengorek informasi dari si sahabat tadi. Atau, yang paling sering terjadi di kalangan siswa sekolahan (dan berdasarkan pengamatan serta pengalaman aku sendiri), penggemar rahasia bakalan suka menguntit.

Satu lagi sikap penggemar rahasia. Yang ini sangat lazim dan banyak terjadi berdasarkan arus teknologi yang masuk. Timeline twitter si penggemar rahasia akan penuh dengan catatan-catatan yang nggak penting, tapi nyerempet dengan orang yang ia cintai. Misalnya mereka baru pas-pasan di jalan. Maka tweet yang normal yang akan ia buat adalah: “Begitu melihat kamu berjalan menjauh dariku, aku hanya bisa diam, tak kuasa memanggilmu.” Cielah, kayak gitu deh. Atau buku-bukunya bakalan penuh dengan isi hatinya, bentuk lain dari surat cinta yang nggak berani dia kasih. Pada beberapa kasus lain, penggemar rahasia yang mentalnya lebih tebal akan memberikan surat itu.

Gambar! Bagi yang bisa gambar, buku/foto di twitter mereka akan penuh dengan hasil karya mahabesar mereka. Yang tentu saja, isinya adalah gambar mereka berdua, bergandengan tangan, duduk berdua di taman, atau hal lain hasil fantasi mereka yang tak bisa terjadi di dunia nyata.

Ironis sekali karena biasanya penggemar rahasia akan berusaha menghubungi orang yang mereka cintai, tapi nggak jadi. Misalnya udah punya nomer hp, pin BB, atau akun twitter si doi, tapi mereka cuma memandangi saja, tanpa berani SMS, telfon, nge-invite, atau nge-follow. Mereka takut, dan itu maklum bagi seorang penggemar rahasia.

Penggemar rahasia nggak bisa melawan waktu. Semua manusia nggak bisa. Pada akhirnya, karena kelamaan mengintai dan hanya memandangi saja tanpa melakukan apa-apa, mereka kehabisan waktu mereka. Si doi toh bakalan melanjutkan hidup mereka, berpisah dari sang penggemar rahasia. Misalnya udah lulus SMP, dan ternyata mereka nggak satu SMA. Maka berakhirlah masa pengintaian intensif yang dilakukan selama ini. Pada awalnya si doi jomblo, tapi karena penggemar rahasianya tidak bertindak, maka seseorang akan mendahului. Dan ironis karena si doi akhirnya pacaran dengan orang lain.

Yang bisa dilakukan penggemar rahasia hanya berkaca. Menyesali kenapa ia tak segera bertindak. Dan tentu saja, mendoakan. Mendoakan semoga si doi bahagia dengan orang pilihannya. Penggemar rahasia yang tak menyatakan cintanya hanya bisa berharap cintanya bakal hilang seiring dengan waktu. Dan tentu saja menyadari bahwa Tuhan mungkin merencanakan sesuatu yang lain. Bahwa mungkin si doi bukan untuk mereka, tapi mereka akan mendapat sesuatu yang lain. Penggemar rahasia, pada akhirnya, hanya akan merelakan kepergian sang kekasih hati yang tak termiliki, dan menerima takdir Tuhan. Merelakan dan menerima.

Salam untuk semua penggemar rahasia di dunia,
Mel